Selasa, 27 Maret 2012

IHWAL TEPAT WAKTU

Dari sebuah cerita, satu saat Cak Nur (almarhum Nurcholish Madjid) ditanya: dari (aspek) mana perbaikan (Indonesia) sebaiknya dimulai? Jawab Cak Nur singkat: dari mana saja. Saya tidak bisa mengecek kebenaran cerita tersebut. Namun saya sepakat dengan substansi cerita itu. Perbaikan Indonesia bisa dimulai dari aspek apa saja, termasuk menyangkut kebiasaan jam karet. Bagi saya kebiasaan jam karet sedikit banyak mencerminkan lemahnya trustworthiness, salah satu modal kehidupan bersama yang paling penting.

Lebih dari setahun yang lalu, seorang teman Indonesia, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh dan untuk orang Indonesia, setengah mengeluh terkait dengan keterlambatan dimulainya  acara. Menurut teman saya itu, orang-orang kita ini tidak mungkin molor kalau berurusan dengan orang-orang bule. Dengan kata lain mereka pasti berusaha tepat waktu, berbeda dengan saat berurusan dengan sesama orang Indonesia. Saya agak terkejut dengan kata-kata teman saya tadi. Ada rasa tidak percaya, bagaimana orang-orang yang relatif terpelajar memiliki standard ganda seperti itu. Di sisi lain, bisa saya pahami orang-orang Indonesia yang berada di negara maju sekalipun ketika bertemu dengan rekan-rekannya yang berasal dari lingkungan budaya yang sama, maka kebiasaan-kebiasaan lamanya akan datang kembali.

Suatu ketika -di tanah air- saat saya akan menghadiri sebuah rapat dengan datang sekitar 5 – 10 menit lebih awal dari jam yang tertera di undangan, seorang teman mengatakan: untuk apa datang terlalu awal, paling yang lainnya datang terlambat dan karenanya acara  pun dimulai terlambat. Boleh jadi cara berpikir seperti itulah salah satu penyebab kebiasaan jam karet sulit untuk berubah. Ada semacam rasa tidak percaya bahwa orang lain akan datang tepat waktu apalagi lebih awal. Bayangkan jika setiap orang berpikir sebaliknya: saya akan datang 5 atau 10 menit lebih awal karena yakin teman-teman yang lain akan melakukan hal serupa dan acara dimulai tepat waktu.

Merubah kebiasaan jam karet sepertinya memang terkait dengan merubah cara berpikir.
Salah satu hal yang saya tidak sukai saat mengajar adalah jika ada para mahasiswa datang terlambat di kelas, apalagi disertai alasan yang menurut saya dibuat-buat. Mungkin perasaan serupa juga dirasakan para dosen atau guru yang siswa atau mahasiswanya datang terlambat di kelas. Maka sebagai konsekuensinya saya merasa harus mendidik anak-anak saya agar memiliki kesadaran mengenai (tepat) waktu ini. Salah satu hal sederhana yang saya dan istri lakukan adalah selalu berusaha mengantar anak-anak agar tidak terlambat tiba di sekolah. Hal itu kami lakukan sejak mereka berada di taman kanak-kanak. Tentu saja saat itu mereka tidak paham apa arti tepat waktu. Mereka sekadar melakukan dan membiasakan untuk tepat waktu. Dalam konteks pendidikan karakter boleh dikatakan anak-anak saya menerapkan salah satu aspeknya: acting the good.

Seiring mereka beranjak besar, saya merasa harus menjelaskan alasan-alasan mengenai pentingnya tepat waktu. Paling tidak ada 3 alasan  yang sering saya sampaikan kepada anak-anak saya. Pertama, dalam konteks kesepakatan dengan orang lain (yang terkait dengan waktu), maka tepat waktu adalah menghormati janji/kesepakatan. Mengingkarinya tanpa alasan yang jelas dan kuat adalah melanggar janji dan berpotensi merugikan orang lain. Kedua, tepat waktu seringkali juga terkait dengan menghormati suatu otoritas. Sekolah atau tempat kerja misalnya adalah otoritas yang mau tidak mau harus diikuti dan dihormati siapapun yang ingin menjadi bagian darinya. Ketiga, terkait dengan sebuah undangan yang memiliki batasan waktu, memenuhinya dengan tepat waktu adalah cerminan penghargaan untuk si pengundang. Ringkasnya, ihwal tepat waktu terkait dengan penghargaan terhadap orang lain (respect). Pada titik ini saya ingin anak-anak saya: knowing the good.

Namun toh saya tak ingin anak-anak saya terobsesi dengan tepat waktu yang akan membuatnya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap keterlambatan yang disebabkan oleh faktor yang memang benar-benar tidak bisa dihindari. Saya juga tidak ingin mereka menjadi pribadi yang tergesa-gesa. Dalam hal ini ternyata ada satu aspek ikutan yang bisa ditanamkan kepada anak-anak, yakni kemampuan membuat perencanaan dan melakukan persiapan. Tepat waktu seringkali terkait dengan persiapan yang baik. Melalui pembiasaan tepat waktu anak-anak bisa dengan lebih teliti dengan detail persiapan dan juga memperkirakan lama sebuah perjalanan ke suatu tempat. Walaupun ada keterlambatan dengan alasan yang bisa dipahami, namun rasanya berat untuk memaklumi keterlambatan yang disebabkan oleh kemalasan, perencanaan dan persiapan yang buruk atau meremehkan orang lain.

Sudah menjadi keyakinan umum bahwa tepat waktu adalah bagian dari kehidupan masyarakat di negara-negara maju. Sistem transportasi misalnya, selalu mengupayakan ketepatan waktu. Banyak aspek kehidupan lainnya juga menyandarkan pada ketepatan waktu sebagai salah satu ukuran efektifitasnya. Walaupun tidak sempurna, tepat waktu  seperti menjadi hal yang lumrah dan bahkan terkesan agak mekanistik. Berada di sebuah negara yang relatif menghargai tepat waktu, membuat saya lebih paham betapa sesungguhnya ada hal yang tidak sederhana di balik budaya ini. Namun saya yakin ihwal tepat waktu ini bisa diletakkan dalam konteks moral pribadi.

Di penghujung bulan Desember 2010 saya sekeluarga diundang makan malam oleh supervisor istri saya. Rumah beliau di wilayah Hexham, sekitar 30 menit perjalanan mobil dari tempat tinggal kami di kawasan Fenham. Karena mengetahui kami tidak memiliki mobil dan menyadari kesulitan kami untuk mencapai rumah beliau,  maka supervisor istri saya berbaik hati akan menjemput kami jam 4 sore pada hari itu. Istri saya menyetujui dan berterima kasih dengan niat baik itu. Dan benar, tepat jam 4 sore supervisor istri saya mengetuk pintu rumah. Beruntung kami telah selesai melakukan persiapan, sehingga beliau tidak perlu menunggu kami. Waktu yang telah disepakati telah dipenuhi bersama. Semua sama-sama senang. Satu saat, saya dan istri membicarakan kejadian itu dengan anak-anak kami, bahwa untuk sebuah acara yang santai dan informal seseorang tetap memiliki komitmen untuk tepat waktu. Saya berharap dari momen itu anak-anak saya mengalami apa yang disebut: feeling/loving the good.

Anak-anak saya telah mengalami 3 hal penting dalam melakukan pembiasaan diri:knowing the good (kognitif), feeling/loving the good (afektif) dan acting the good(psikomotorik). Akankah mereka menjadi pribadi-pribadi yang menghargai tepat waktu di kemudian hari? Belum tentu juga, tergantung apakah kami tekun atau tidak dalam mendampingi mereka melakukan pembiasaan, menekankan kembali pentingnya nilai-nilai tentang waktu dan penghargaan atas orang lain serta mengapresiasi komitmen yang ditunjukkan  orang lain. Menanamkan kebiasaan tepat waktu bukanlah proses satu atau dua hari.

Newcastle upon Tyne, awal September 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar