Dari
sebuah cerita, satu saat Cak Nur (almarhum Nurcholish Madjid) ditanya: dari
(aspek) mana perbaikan (Indonesia) sebaiknya dimulai? Jawab Cak Nur singkat:
dari mana saja. Saya tidak bisa mengecek kebenaran cerita tersebut. Namun saya
sepakat dengan substansi cerita itu. Perbaikan Indonesia bisa dimulai dari
aspek apa saja, termasuk menyangkut kebiasaan jam karet. Bagi saya kebiasaan
jam karet sedikit banyak mencerminkan lemahnya trustworthiness, salah
satu modal kehidupan bersama yang paling penting.
Lebih dari setahun
yang lalu, seorang teman Indonesia, dalam sebuah acara yang diselenggarakan
oleh dan untuk orang Indonesia, setengah mengeluh terkait dengan keterlambatan
dimulainya acara. Menurut teman saya itu, orang-orang kita ini tidak
mungkin molor kalau berurusan dengan orang-orang bule. Dengan kata lain mereka
pasti berusaha tepat waktu, berbeda dengan saat berurusan dengan sesama orang
Indonesia. Saya agak terkejut dengan kata-kata teman saya tadi. Ada rasa tidak
percaya, bagaimana orang-orang yang relatif terpelajar memiliki standard ganda
seperti itu. Di sisi lain, bisa saya pahami orang-orang Indonesia yang berada
di negara maju sekalipun ketika bertemu dengan rekan-rekannya yang berasal dari
lingkungan budaya yang sama, maka kebiasaan-kebiasaan lamanya akan datang
kembali.
Suatu ketika -di
tanah air- saat saya akan menghadiri sebuah rapat dengan datang sekitar 5 – 10
menit lebih awal dari jam yang tertera di undangan, seorang teman mengatakan:
untuk apa datang terlalu awal, paling yang lainnya datang terlambat dan
karenanya acara pun dimulai terlambat. Boleh jadi cara berpikir seperti
itulah salah satu penyebab kebiasaan jam karet sulit untuk berubah. Ada semacam
rasa tidak percaya bahwa orang lain akan datang tepat waktu apalagi lebih awal.
Bayangkan jika setiap orang berpikir sebaliknya: saya akan datang 5 atau 10
menit lebih awal karena yakin teman-teman yang lain akan melakukan hal serupa
dan acara dimulai tepat waktu.
Merubah
kebiasaan jam karet sepertinya memang terkait dengan merubah cara berpikir.
Salah satu hal yang
saya tidak sukai saat mengajar adalah jika ada para mahasiswa datang terlambat
di kelas, apalagi disertai alasan yang menurut saya dibuat-buat. Mungkin
perasaan serupa juga dirasakan para dosen atau guru yang siswa atau mahasiswanya
datang terlambat di kelas. Maka sebagai konsekuensinya saya merasa harus
mendidik anak-anak saya agar memiliki kesadaran mengenai (tepat) waktu ini.
Salah satu hal sederhana yang saya dan istri lakukan adalah selalu berusaha
mengantar anak-anak agar tidak terlambat tiba di sekolah. Hal itu kami lakukan
sejak mereka berada di taman kanak-kanak. Tentu saja saat itu mereka tidak
paham apa arti tepat waktu. Mereka sekadar melakukan dan membiasakan untuk
tepat waktu. Dalam konteks pendidikan karakter boleh dikatakan anak-anak saya
menerapkan salah satu aspeknya: acting the good.
Seiring mereka
beranjak besar, saya merasa harus menjelaskan alasan-alasan mengenai pentingnya
tepat waktu. Paling tidak ada 3 alasan yang sering saya sampaikan kepada
anak-anak saya. Pertama, dalam konteks kesepakatan dengan orang lain (yang
terkait dengan waktu), maka tepat waktu adalah menghormati janji/kesepakatan.
Mengingkarinya tanpa alasan yang jelas dan kuat adalah melanggar janji dan
berpotensi merugikan orang lain. Kedua, tepat waktu seringkali juga terkait
dengan menghormati suatu otoritas. Sekolah atau tempat kerja misalnya adalah
otoritas yang mau tidak mau harus diikuti dan dihormati siapapun yang ingin
menjadi bagian darinya. Ketiga, terkait dengan sebuah undangan yang memiliki
batasan waktu, memenuhinya dengan tepat waktu adalah cerminan penghargaan untuk
si pengundang. Ringkasnya, ihwal tepat waktu terkait dengan penghargaan
terhadap orang lain (respect).
Pada titik ini saya ingin anak-anak saya: knowing the good.
Namun toh saya tak
ingin anak-anak saya terobsesi dengan tepat waktu yang akan membuatnya menjadi
pribadi yang tidak toleran terhadap keterlambatan yang disebabkan oleh faktor
yang memang benar-benar tidak bisa dihindari. Saya juga tidak ingin mereka menjadi
pribadi yang tergesa-gesa. Dalam hal ini ternyata ada satu aspek ikutan yang bisa
ditanamkan kepada anak-anak, yakni kemampuan membuat perencanaan dan melakukan
persiapan. Tepat waktu seringkali terkait dengan persiapan yang baik. Melalui
pembiasaan tepat waktu anak-anak bisa dengan lebih teliti dengan detail
persiapan dan juga memperkirakan lama sebuah perjalanan ke suatu tempat.
Walaupun ada keterlambatan dengan alasan yang bisa dipahami, namun rasanya
berat untuk memaklumi keterlambatan yang disebabkan oleh kemalasan, perencanaan
dan persiapan yang buruk atau meremehkan orang lain.
Sudah menjadi
keyakinan umum bahwa tepat waktu adalah bagian dari kehidupan masyarakat di
negara-negara maju. Sistem transportasi misalnya, selalu mengupayakan ketepatan
waktu. Banyak aspek kehidupan lainnya juga menyandarkan pada ketepatan waktu
sebagai salah satu ukuran efektifitasnya. Walaupun tidak sempurna, tepat
waktu seperti menjadi hal yang lumrah dan bahkan terkesan agak
mekanistik. Berada di sebuah negara yang relatif menghargai tepat waktu,
membuat saya lebih paham betapa sesungguhnya ada hal yang tidak sederhana di
balik budaya ini. Namun saya yakin ihwal tepat waktu ini bisa diletakkan dalam
konteks moral pribadi.
Di penghujung bulan
Desember 2010 saya sekeluarga diundang makan malam oleh supervisor istri saya.
Rumah beliau di wilayah Hexham, sekitar 30 menit perjalanan mobil dari tempat
tinggal kami di kawasan Fenham. Karena mengetahui kami tidak memiliki mobil dan
menyadari kesulitan kami untuk mencapai rumah beliau, maka supervisor
istri saya berbaik hati akan menjemput kami jam 4 sore pada hari itu. Istri
saya menyetujui dan berterima kasih dengan niat baik itu. Dan benar, tepat jam
4 sore supervisor istri saya mengetuk pintu rumah. Beruntung kami telah selesai
melakukan persiapan, sehingga beliau tidak perlu menunggu kami. Waktu yang
telah disepakati telah dipenuhi bersama. Semua sama-sama senang. Satu saat,
saya dan istri membicarakan kejadian itu dengan anak-anak kami, bahwa untuk
sebuah acara yang santai dan informal seseorang tetap memiliki komitmen untuk
tepat waktu. Saya berharap dari momen itu anak-anak saya mengalami apa yang
disebut: feeling/loving
the good.
Anak-anak saya
telah mengalami 3 hal penting dalam melakukan pembiasaan diri:knowing the good (kognitif), feeling/loving the good (afektif)
dan acting
the good(psikomotorik). Akankah mereka menjadi pribadi-pribadi yang
menghargai tepat waktu di kemudian hari? Belum tentu juga, tergantung apakah
kami tekun atau tidak dalam mendampingi mereka melakukan pembiasaan, menekankan
kembali pentingnya nilai-nilai tentang waktu dan penghargaan atas orang lain
serta mengapresiasi komitmen yang ditunjukkan orang lain. Menanamkan
kebiasaan tepat waktu bukanlah proses satu atau dua hari.
Newcastle upon
Tyne, awal September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar